Selasa, 29 September 2015

ASAS DAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH




       Di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Yang dimaksud dengan asas sederhana adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknya, maupun prosedurnya dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah. Asas aman, adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan kepastian hukum, sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah.

     Yang dimaksud dengan asas terjangkau, adalah memperhatikan kemampuan pihak-pihak yang berkepentingan yaitu keterjangkauan pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.

      Yang dimaksud dengan asas mutakhir, adalah menentukan data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan. Sedangkan asas terbuka adalah agar publik dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar di setiap saat, jadi merupakan pelaksanaan dari fungsi informasi.

        Menurut Bismar Nasution prinsip keterbukaan di pasar modal adalah untuk menciptakan mekanisme pasar yang efisien. Karena dengan diterapkannya kewajiban keterbukaan dalam pasar modal dapat menghindarkan atau minimal kejadian yang dapat menimbulkan akibat buruk bagi investor publik. Namun, sayangnya hingga saat ini prinsip keterbukaan tersebut belum dapat dilaksanakan oleh kantor Badan Pertanahan Nasioanal, sehingga masyarakat yang hendak melakukan pendaftaran hak atas tanah untuk pertama kalinya masih mengalami berbagai kendala dalam memohon pendaftaran hak atas atas tanahnya.

     Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menerangkan bahwa azas transportasi mengandung pengertian bahwa pengolahan sumber daya air dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung-jawabkan.

     Sistem pendaftaran tanah, adalah mempermasalahkan tentang apa yang harus didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis, serta bentuk tanda buktinya. Terdapat dua macam sistem pendaftaran tanah yaitu, .Sistem Pendaftaran tanah atau Registration of Deeds dan Sistem Pendaftaran Hak atau Registration of Titles.
       Dalam hal Sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, setiap pemberian atau penciptaan hak baru, serta pemindahan dan pembebanannya dengan hak lain, maka harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam akta tersebut dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan yaitu mengenai apa perbuatan hukumnya, haknya, penerimaan haknya, dan hak apa yang dibebankan, yang kemudian akta didaftar oleh Pejabat Pendaftaran Tanah.

     Pada sistem pendaftaran akta, Pejabat Pendaftaran Tanah bersikap pasif. Artinya, Pejabat Pendaftaran Tanah tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Jadi, di dalam sistem pendaftaran akta, jika terjadi perubahan, wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem pendaftaran akta, jika terjadi perubahan, wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem pendaftaran akta, data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Apabila terjadi cacat hukum pada suatu akta yang dibuat kemudian. Sedangkan untuk memperoleh data yuridis, harus dilakukan dengan cara title search yang memakan waktu yang relatif lama, di samping dana yang lebih banyak, karena diperlukan campur tangan dari ahli.
       Sistem pendaftaran hak, dikenal juga Torrens System, bukan aktanya yang didaftar, tetapi haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Meskipun akta tetap merupakan sumber datanya. Jadi, di dalam sistem pendaftaran hak terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dibuatkan suatu daftar isian. Pada sistem pendaftaran hak, pejabat pendaftaran tanah akan melakukan pengujian kebenaran data, yaitu sebelum dilakukan pendaftaran hak di dalam buku tanah. Jadi, pejabat pendaftaran tanah, dalam hal ini bersikap aktif.
     Bagaimanapun sistem pendaftaran tanah yang dilakukan, hukum melindungi kepentingan orang sebagai pemegang bukti hak berdasarkan data yang disajikan kegiatan pendaftaran tanah, yaitu dapat dilihat dari sistem publikasi yang dianut dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah.
      Penyelenggaraan pendaftaran tanah, ada dikenal dua sistem publikasi, yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Sedangkan, yang dimaksud dengan sistem publikasi positif, yaitu sistem yang menggunakan sistem pendaftaran hak, di mana buku tanah sebagai bentuk penyajian data yuridis, dan sertifikat hak sebagai tanda bukti hak. Untuk mengikuti siapa pemegang hak, yaitu dengan melihat nama siapa yang terdaftar dan bukan perbuatan hukumnya.
   Sedangkan sistem publikasi negatif, adalah yang menitik beratkan pada sahnya perubahan hukum yang dilakukan untuk kemudian dapat menentukan peralihan haknya. Dalam situasi demikian, meskipun pendaftaran sudah dilakukan tetapi masih terbuka kemungkinan timbulnya gugatan jika pemegang hak yang sebenarnya dapat membuktikannya.
    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menganut sistem publikasi negatif yang berunsur positif. Jadi sistem yang digunakan adalah bukan sistem negative murni. Pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah, harus berusaha sedapat mungkin untuk menyajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran, selama tidak terdapat pembuktian yang lain, maka data yang terdapat dalam buku tanah dan yang ada pada pendaftaran merupakan data yang dianggap benar dan dinyatakan sah. .Menurut ”Muntoha Mantan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah, Departemen Agraria, menyatakan bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia sekarang adalah sistem negatif dengan bertendensi positif”. Artinya dengan sistem negatif yang bertendensi positif tersebut, jika pada keterangan-keterangan yang ada, terdapat ketidakbenaran fakta, maka dapat diubah dan disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.

Senin, 28 September 2015

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN CAMPURAN (MENIKAH DENGAN WNA/BEDA KEWARGANEGARAAN)







Bagi WNA (warga negara asing) yang akan melangsungkan pernikahan di Indonesia harus membawa persyaratan administrasi sebagai berikut :

  1. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui 2 orang saksi. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Akta Cerai/surat keterangan cerai yang asli dan salinan putusannya.
  2. Foto copy piagam masuk Islam (khusus untuk yang mualaf).
  3. Foto copy Akte Kelahiran/Kenal Lahir/ID Card.
  4. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian.
  5. Surat Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil apabila yang bersangkutan menetap di Indonesia.
  6. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang bekerja di Indonesia atau bagi yang menetap lebih dari satu tahun).
  7. Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi atau foto copy visa.
  8. Pas Port (foto copy).
  9. Surat Keterangan atau izin menikah dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
  10. Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi dan tersumpah.


Keterangan : Jika wali nikah tidak setuju calon pengantin bisa mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama karena wali nikah tidak bersedia menjadi wali, jika dikabulkan nantinya akan menggunakan wali hakim adhol, dalam hal ini walinya pihak KUA (Kepala KUA), tapi sebelum ke Pengadilan Agama alangkah baiknya jika ditempuh jalan musayawarah.


Selasa, 03 Juni 2014

TENTANG PERJANJIAN BAKU



Perjanjian Baku
Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract” atau “standard voorwaarden”. Di luar negeri belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian baku. Kepustakan Jerman mempergunakan istilah “Allgemeine Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”, “standaardkonditionen”. Dan Hukum Inggris menyebut dengan “standard contract”. Mariam Darus Badruzaman (1994: 46), menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, baku berarti patokan, ukuran, acuan. Olehnya jika bahsa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.
Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif dari perjanjian baku “Vera Bolger” menamakannya sebagai “take it or leave it contract”. Maksudnya adalah jika debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada. Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis:
  1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
  2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan sebagainya.
  3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. (Subekti, 1997: 13).
Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku yang merupakan bahasan dari makalah ini dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi permasalahan dalam makalah ini bahwa apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Kaitannya dengan pertanyaan/masalah tersebut, bahwa unsur yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata ada empat, yaitu :
a.       Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c.       Suatu hal yang tertentu;
d.      Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan mereka (para pihak) mengikatkan diri adalah merupakan asas esensial dari hukum perjanjian, yang juga biasa disebut dengan asas konsensualisme, yang menentukan “ada”nya perjanjian. Asas kebebasan ini juga tidak hanya terdapat atau milik KUH Perdata saja, akan tetapi asas ini berlaku secara universal, bahkan asas ini juga dikenal dalam hukum Inggris. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi.
Asas kebebasan berkontrak juga berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Dan perjanjian yang dibuat trsebut sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” pada perjanjian baku, maka secara teoretis yuridis perjanjian tersebut (standard contract) tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Dikatakan demikian sebab jika melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan para debitur untuk mengadakan “real bergaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur dalam keadaan ini tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku tersebut, dan hal ini bertentangan dengan pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata di atas.

Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA VS AUSTRALIA VS STOCKHOLM




Sejak kita duduk di bangku SD pasti kita sudah mengenal pribahasa "Buku adalah jendela dunia" sering kita menjumpai tulisan tersebut didinding koridor sekolah ataupun didinding perpustakaan. Dengan banyak membaca kita semakin banyak mendapat ilmu pengetahuan. Semakin bertambahnya usia kita, semakin tinggi jenjang pendidikan kita pasti juga berpengaruh terhadap selera atau minat tema buku bacaan kita. Pada usia SD biasanya kita lebih suka buku dongeng cerita rakyat, kemudian semakin bertambahnya usia beberapa diantara kita lebih suka membaca buku tentang bisnis, hukum, teknik, kesehatan dan lainnya. Tempat surganya buku tidak lain adalah Perpustakaan, selain toko buku tentunya. Akan tetapi pada jaman sekarang banyak diantara kita kurang memiliki minat membaca buku diperpustakaan, karena sekarang kita dapat mengakses buku diperpustakaan digital tanpa harus pergi keluar rumah. Di Indonesia sendiri ada kurang lebih 309 perpustakaan online yang bisa kita akses setiap saat, informasi tentang perpustakaan Indonesia kita bisa baca diwebsite Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (www.pnri.go.id ). Tapi ada kalanya kita merindukan suasana membaca di perpustakaan, melihat deretan buku-buku, melihat orang-orang menikmati buku bacaannya, suasana tenang ruang perpustakaan mempunyai rasa tersendiri tentunya. 

Pada tulisan saya kali ini saya ingin menunjukkan wajah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan Perpustakaan Nasional  Australia (National Library of Australia), . Rasa kagum saya tujukan pada Perpustakaan Nasional Australia, dari mulai wujud bangunan, interior, hingga kekayaan buku didalamnya. Pemerintah Australia saya rasa benar sungguh-sungguh menaruh perhatian terhadap ini. 

Ini wajah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) kita tercinta 





*picture source : indra-write.blogspot.com


Ini wajah Perpustakaan Nasional Australia

Ini National Library of Australia yang di Canberra








*picture source : www.adonline.id.au

Ini State Library of New South Wales di Sydney






Ini State Library of Victoria di Melbourne 















( WOWww...!!!!)


Tambahan, yang berikut ini Stockholm Public Library




* Ini yang disebut mahakarya manusia :)








*Dinding pengetahuan, saya kira perpustakaan paling mengagumkan itu hanya milik Do Min Joo di drama Man From The Star, ternyata ini ada dikehidupan nyata.

Semoga Indonesia memiliki perpustakaan seperti ini.