Perjanjian Baku
Perjanjian baku dialih bahasakan
dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”
atau “standard voorwaarden”. Di luar negeri belum terdapat keseragaman
mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian baku . Kepustakan Jerman mempergunakan istilah “Allgemeine Geschafts Bedingun”,
“standard vertrag”, “standaardkonditionen”. Dan Hukum Inggris
menyebut dengan “standard contract”. Mariam Darus Badruzaman (1994:
46), menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, baku berarti patokan,
ukuran, acuan. Olehnya jika bahsa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu
ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang
dapat menjadi pegangan umum.
Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif dari
perjanjian baku “Vera Bolger” menamakannya sebagai “take it or leave it
contract”. Maksudnya adalah jika debitur menyetujui salah satu
syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak
menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali
tidak ada. Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis:
- Perjanjian baku
sepihak, adalah perjanian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah
pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak
debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada
perjanjian buruh kolektif.
- Perjanjian baku yang
ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang mempunyai objek
hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat
formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri
Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara
lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan
sebagainya.
- Perjanjian baku yang
ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian
yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan
dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang
bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract
model”.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang
mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang
menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur
sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. (Subekti, 1997:
13).
Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan
perjanjian baku yang merupakan bahasan dari makalah ini dilatar belakangi oleh
keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis
yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian.
Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi
permasalahan dalam makalah ini bahwa apakah perjanjian baku tersebut dapat
dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta
hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan
kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak.
Kaitannya dengan pertanyaan/masalah
tersebut, bahwa unsur yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata ada empat, yaitu :
a.
Kesepakatan
mereka yang mengikat dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal yang tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan mereka (para pihak) mengikatkan diri
adalah merupakan asas esensial dari hukum perjanjian, yang juga biasa disebut
dengan asas konsensualisme, yang menentukan “ada”nya perjanjian. Asas kebebasan
ini juga tidak hanya terdapat atau milik KUH Perdata saja, akan tetapi asas ini
berlaku secara universal, bahkan asas ini juga dikenal dalam hukum Inggris.
Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung
arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan
untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan (vertrouwen)
bahwa perjanjian itu dipenuhi.
Asas kebebasan berkontrak juga berkaitan erat
dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa”
perjanjian itu diadakan. Dan perjanjian yang dibuat trsebut sesuai dengan pasal
1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Meninjau masalah “ada” dan
“kekuatan mengikat” pada perjanjian baku, maka secara teoretis yuridis
perjanjian tersebut (standard contract) tidak memenuhi elemen-elemen yang
dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Dikatakan demikian sebab jika
melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak
memberikan kesempatan para debitur untuk mengadakan “real bergaining” dengan
pengusaha (kreditur). Debitur dalam keadaan ini tidak mempunyai kekuatan untuk
mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku
tersebut, dan hal ini bertentangan dengan pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata di
atas.
Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua paham
bahwa apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan berkontrak atau
tidak. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah
suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah
seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham
kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima
sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian
itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu,
berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.





























.jpg)

