Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus
pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara
makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
·
Harga
tanah yang meningkat dengan cepat.
·
Kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
·
Iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan
benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan
antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan
perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan
lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum
yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain
dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah). Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah
atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya
sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang
berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status
tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku. (http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/08/hukum-agraria-penyelesaian-sengketa.html)
Problem Pertanahan di Aceh Secara Umum
Problem pertanahan di Aceh sudah terjadi
sejak dulu, dimana sejarah Aceh yang penuh konflik dan kekerasan yang di
lakukan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru serta Masa Reformasi telah banyak
membungkam seluruh masyarakat Aceh yang di rampas hak kepemilikan tanahnya
untuk kepentingan Pemodal Besar Asing dan juga Pemerintah.
Pasca MOU (Penandatanganan Damai RI-GAM) dan Tsunami, banyak warga masyarakat yang telah berani menyuarakan persoalan pertanahannya yang masih dirasakan kurang adil bagi mereka dan mengklaim kembali tanahnya, di berbagai daerah di Aceh persoalan tanah ini muncul apakah itu terkait dengan persoalan tanah masa lalu dan juga persoalan tanah pasca Tsunami, adapun persoalan tanah yang saat ini muncul ke permukaan di Aceh, adalah :
Sengketa warga dengan PT. BUMI FLORA di Aceh Timur, terkait kasus penyerobotan tanah dan pembebasan tanah warga yang dirasa tidak adil. Sengketa warga Ie Jerneuh, Trumon Timur, Aceh Selatan dengan POLRES Aceh Selatan, terkait dengan pembangunan Kompi BRIMOB di tanah warga yang di klaim sebagai milik POLRI. Sengketa warga desa Pulau Kayu, ABDYA dengan PEMKAB ABDYA, terkait dengan pembangunan perluasan Bandar Udara Kuala Batu di Pulau Kayu. Sengketa warga Suak Indrapuri, Meulaboh dengan TNI, terkait kasus pengklaiman tanah warga oleh TNI. Sengketa warga Meunasah Kulam, Aceh Besar dengan KORAMIL 05/KODIM, terkait dengan penyerobotan dan pengklaiman tanah warga oleh KORAMIL. Sengketa warga Lambaro Skep, Banda Aceh dengan KODAM terkait dengan penyerobotan tanah dan pengklaiman tanah oleh KODAM.
Sengketa warga Layeun, Aceh Besar dengan BRR, terkait dengan permintaan warga untuk pembebasan tanah Relokasi pembangunan rumah bantuan untuk korban Tsunami. Permasalahan pertanahan di Indonesia, telah di atur dalam peraturan pertanahan yang ada untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, hal itu sesuai dengan Hak Asasi Manusia yang termasuk dalam Hak – Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan yang memadai dan hak atas perumahan yang baik bagi kemanusiaan. Kesemua itu merupakan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang masih sangat umum, selain hak – hak diatas terdapat juga hak – hak ekonomi sosial dan budaya yang lain yang lebih khusus seperti hak atas penguasaan tanah baik secara pribadi dan kolektif ( hak atas tanah ulayat ), hak penguasaan atas tanah ini juga diakui oleh komunitas masyarakat internasional yang tertuang dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yaitu dalam artikel 17 ayat (1) dan (2) : “Dimana setiap orang berhak atas memiliki harta benda baik secara sendiri-sendiri maupun bersama–sama dan tidak seorang pun boleh dirampas harta bendanya secara sewenang–wenang”.
Pasca MOU (Penandatanganan Damai RI-GAM) dan Tsunami, banyak warga masyarakat yang telah berani menyuarakan persoalan pertanahannya yang masih dirasakan kurang adil bagi mereka dan mengklaim kembali tanahnya, di berbagai daerah di Aceh persoalan tanah ini muncul apakah itu terkait dengan persoalan tanah masa lalu dan juga persoalan tanah pasca Tsunami, adapun persoalan tanah yang saat ini muncul ke permukaan di Aceh, adalah :
Sengketa warga dengan PT. BUMI FLORA di Aceh Timur, terkait kasus penyerobotan tanah dan pembebasan tanah warga yang dirasa tidak adil. Sengketa warga Ie Jerneuh, Trumon Timur, Aceh Selatan dengan POLRES Aceh Selatan, terkait dengan pembangunan Kompi BRIMOB di tanah warga yang di klaim sebagai milik POLRI. Sengketa warga desa Pulau Kayu, ABDYA dengan PEMKAB ABDYA, terkait dengan pembangunan perluasan Bandar Udara Kuala Batu di Pulau Kayu. Sengketa warga Suak Indrapuri, Meulaboh dengan TNI, terkait kasus pengklaiman tanah warga oleh TNI. Sengketa warga Meunasah Kulam, Aceh Besar dengan KORAMIL 05/KODIM, terkait dengan penyerobotan dan pengklaiman tanah warga oleh KORAMIL. Sengketa warga Lambaro Skep, Banda Aceh dengan KODAM terkait dengan penyerobotan tanah dan pengklaiman tanah oleh KODAM.
Sengketa warga Layeun, Aceh Besar dengan BRR, terkait dengan permintaan warga untuk pembebasan tanah Relokasi pembangunan rumah bantuan untuk korban Tsunami. Permasalahan pertanahan di Indonesia, telah di atur dalam peraturan pertanahan yang ada untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, hal itu sesuai dengan Hak Asasi Manusia yang termasuk dalam Hak – Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan yang memadai dan hak atas perumahan yang baik bagi kemanusiaan. Kesemua itu merupakan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang masih sangat umum, selain hak – hak diatas terdapat juga hak – hak ekonomi sosial dan budaya yang lain yang lebih khusus seperti hak atas penguasaan tanah baik secara pribadi dan kolektif ( hak atas tanah ulayat ), hak penguasaan atas tanah ini juga diakui oleh komunitas masyarakat internasional yang tertuang dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yaitu dalam artikel 17 ayat (1) dan (2) : “Dimana setiap orang berhak atas memiliki harta benda baik secara sendiri-sendiri maupun bersama–sama dan tidak seorang pun boleh dirampas harta bendanya secara sewenang–wenang”.
Contoh Kasus :
Sengketa Tanah Antara Warga Meunasah Kulam, Aceh
Besar dengan KORAMIL 05/KODIM, Terkait Dengan Penyerobotan dan Pengklaiman
Tanah Warga Oleh KORAMIL
Analisis Kasus :
Kasus sengketa itu berawal ketika masyarakat
korban tsunami berniat kembali membangun rumah mereka ditempat asalnya dengan
bantuan NGO Internasional. Saat itulah, Koramil 05 mengklaim tanah tersebut
aset Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sengketa tanah antara warga Meunasah Kulam, Aceh Besar
dengan KORAMIL 05/KODIM, lebih
dominan terhadap permasalahan proses pembebasan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum dan instansi militer, yang melakukan pemaksaan kehendak
terhadap masyarakat untuk menyerahkan tanah yang menjadi hak milik nya kepada
negara, tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang
berkenaan dengan hak Sipil dan Politik dimana “setiap orang berkedudukan yang sama di depan hukum dan berhak mendapat
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun”. Konvenan Hak Sipil
Politik ini telah di ratifikasi oleh Indonesia dengan Undang– undang nomor 12
tahun 2005 serta Undang – Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang menyebutkan bahwa “setiap orang
berhak memiliki hak milik baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain
demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang
tidak melanggar hukum. Dan tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan
sewenagwenang dan melawan hukum (pasal 36 ayat 1 dan 2)”. Dalam Undang – Undang
Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 di jelaskan bahwa negara tidak memiliki hak
milik tetapi negara memiliki hak menguasai. Hak menguasai negara berarti Negara hanya sebagai
pengatur secara administratif terhadap tanah di Negara Indonesia. Penjelasan
umum II UUPA mengatakan bahwa “UUPA
berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang di tentukan oleh pasal
33 UUD tidak perlu dan tidak pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia ataupun
Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah tepat jika Negara sebagai organisasi
kekuasaan dari seluruh rakyat Indonesia bertindak selaku badan penguasa”.
Pembebasan tanah oleh negara untuk
kepentingan umum, seperti pembangunan Bandar Udara, Jalan Nasional, RSU, Kantor
Instansi Pemerintah dan Militer harus berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor
36 tahun 2005 dengan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Pembebasan tanah oleh Pemerintah untuk kepentingan umum juga harus melalui
proses-proses pembayaran ganti rugi bagi warga dengan mengacu pada patokan
harga tanah di daerah tersebut untuk menjamin keadilan bagi masyarakat karena
masyarakat juga mempunyai hak atas tanah negara dan hak pengelolaan yang dapat
di konversikan menjadi hak milik, hal ini di atur secara tegas dalam Permeneg
Agraria/Kepala BPN 9/1999 tentang Tata Cara Dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan. Selain itu juga berdasarkan Peraturan Pemerintah
No.36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dapat
mengajukan hak milik dengan persyaratan melampirkan bukti dasar atau izin
penggunaan tanah, disertai bukti pembayaran pajak atas nama yang bersangkutan,
atau dokumen lain seperti girik, IPEDA, atau PBB. Apabila itu juga tidak ada
maka dapat di ajukan dengan didasarkan pada kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama beberapa tahun lebih secara berturut-turut,
dengan syarat penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara
terbuka oleh orang yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang
dapat dipercaya.
Hingga saat ini penyelesaian kasus sengketa
tersebut masih mengambang, dan masih berlarut-larut hingga tiga tahun lebih.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap sengketa pertanahan
yang terjadi di Aceh masih lemah. Seharusnya Tim Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Provinsi secepatnya menyelesaikan persoalan tanah tersebut demi terjaminnya
hak-hak masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar