PENGERTIAN ATAU DEFINISI OTONOMI DAERAH
Pengertian
Otonomi secara bahasa adalah kewenangan/kekuasaan sedangkan daerah
adalah suatu wilayah/area, dengan demikian pengertian secara istilah otonomi
daerah adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur
dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri. Dan
pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu
sendiri mulai dari ekonomi, politik dan pengaturan perimbangan keuangan
termasuk pengaturan sosial, budaya, dan idiologi yang sesuai dengan tradisi
adat istiadat daerah lingkungannya
Otonomi Daerah adalah
kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah).
Daerah Otonom, selanjutnya
disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah).
OTONOMI
Penyelenggaraan
pemerintahan seperti diatur dalam pasal 18 UUD 1945 menjadi dasar
Desentralisasi dan Dekosentrasi seperti tertuang dalam UU No. 5/1974 tentang
Pokok - Pokok Pemerintahan Di Daerah. Adapun definisi beberapa istilah yang digunakan
dalam UU No. 5/1974 masing - masing Pemerintah Pusat adalah Perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta pembantu -
pembantunya. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari
Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah
tangganya; Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau
Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat - Pejabat di daerah. UU
No. 18/1965 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan di Daerah menganut prinsipil
riil dan seluas - luasnya dicabut dan digantikan dengan UU No. 5/1974 tentang
hal yang sama dengan prinsip nyata dan bertanggung jawab. Perbedaan prinsip
antara riil dan seluas - luasnya dengan nyata dan bertanggung jawab menurut
penjelasan UU No. 5/1974 didasari atas kekhawatiran bahwa, pengertian riil dan
seluas - luasnya ternyata dapat menimbulkan kecenderungan permikiran yang dapat
membahayakan keutuhan NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi
kepada daerah sesuai dengan prinsip - prinsip yang digariskan didalam GBHN. Memperhatikan kekhawatiran tesebut maka
jelas pemerintah pusat tidak rela untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah dengan alasan klise membahayakan keutuhan NKRI. Hematnya bahwa prinsip
riil dan seluas - luasnya bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan seperti
yang tercantum dalam UUD 1945. Hal tersebut jelas terbaca dalam penjelasan UU
No. 5/1974 angka I.1.e.i. Sehubungan dengan kekhawatiran tersebut maka Otonomi
daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat diarahkan ke daerah tingkat II
(Kabupaten dan Kotamadya), dengan kewenangan mengatur rumah tangga sendiri
dalam batas - batas tertentu. Pemerintah
daerah hanya memiliki kewenangan terhadap sektor - sektor tradisional seperti,
galian C, pajak bumi dan bangunan, retribusi pasar, pajak kendaraan bermotor
dan lain - lain. Sementara sektor strategis diatur langsung oleh pemerintah
pusat. Dikaitkan dengan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan
suplai anggaran melalui APBN, jelas PAD jauh lebih kecil jumlahnya. Apabila
dihitung menyeluruh maka pendapatan asli daerah akan jauh lebih besar dibanding
suplai melalui APBN. Contoh sederhan di sektor pertambangan emas, produksi emas
PT. Newmont Minahasa Raya sebesar 58.000 ons / kwartal (Manado Post Selasa, 9
Juni 1998). Jika dinilai dengan rupiah pada standar harga jual emas Rp 75.000 /
gram maka penghasilan bruto kurang lebih 1.3 trilyun/tahun. Bisa dibayangkan
kekayaan daerah secara keseluruhan yang disedot ke pusat.Kenyataan ini tidak
dapat disangkal karena merupakan konsekuensi logis pelaksanaan UU No. 5/1974.
Di bidang politik
berdasarkan UU No. 5/1974 penjelasan angka I.4.d. menunjukkan bahwa pemerintah
daerah adalah Kepada Daerah dan DPRD dengan tujuan tercapainya kerjasama yang
serasi antara KDH dan DPRD untuk mencapai tertib pemerintahan di daerah.
Keterangan ini menunjukkan pemerintah pusat berupaya menyatukan kekuasaan
legislatif dan ekskutif guna menekan keinginan rakyat yang dapat merusak tatanan
dalam konsep NKRI.
Dibidang Hukum,
pengambilan keputusan baik dalam bentuk kebijakan Kepala Daerah maupun
Peraturan Daerah harus sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan pemerintah
atasannya. Hal ini merupakan konsekuensi NKRI dalam kaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden (sistem kabinet pressidentil).
Memperhatikan teori yang
dikemukakan oleh Robert C. Fried, The Italian Prefects (dikutip dari Hukum dan
Pembangunan 1978 hal. 441) bahwa, tipologi pemerintahan daerah dibagi dalam
tiga jenis sistem yaitu, sistem fungsional, sistem prefektur tak terintegrasi,
sistem prefektur terintegrasi.
Penyelenggaraan
pemerintahan di daerah menurut UU No. 5/1974 menganut sistem prefektur
terintegrasi seperti tergambar dalam pasal 2, 74(1) & (2), 79(1) & (2),
80, 81, 85(1). Penganutan sistem ini dipengaruhi oleh proses sejarah dan
ditopang oleh berbagai faktor ekologis lainnya. Sistem ini berasal dari zaman
Merkantilisme dan kemudian dikembangkan di Perancis oleh Napoleoon Bonaparte. Untuk mendalami sistem ini lebih lanjut
diperlukan pendekatan "behavioralism". Pola militer (vini, vidi,
vici) jelas mempengaruhi sistem ini, bahkan menurut pengamatan Fried, sistem
prefektur terintegrasi seringkali dipergunakan sebagai senjata untuk mengatasi
ancaman bahaya yang datang dari suku - suku atau kekuatan sosial dan ekonomi
yang berkonsentrasi di wilayah - wilayah tertentu. Dengan jalan menempatkan
seorang gubernur di wilayah - wilayah itu dengan segala atribut yang
dimilikinya, maka Gubernur dapat melakukan keseimbangan kepentingan,
menetralisir keadaan dan menciptakan stabilitas politik diwilayahnya.
Dewasa ini, untuk
menghadapi era globalisasi perdagangan bebas, kemandirian daerah dalam
mengelola pembangunan perlu mendapat
perhatian. Demikian dikemuka kan oleh Dr. Kenichi Ohmae dalam sebuah seminar
pada Kongres Dunia ke-27 IAFEI (The International Association of Financial
Institutes) di Jakarta.
Dikatakannya, di masa datang negara yang kuat
adalah negara yang memiliki daerah-daerah yang makmur. Karena itu, dalam sebuah
negara besar yang memiliki banyak daerah, otonomi benar-benar harus diberikan. Melalui otonomi ini interaksi
daerah-daerah yang berada dalam satu negara dengan dunia luar menjadi penting.
Saat ini lokasi perkembangan bisnis tidak lagi tergantung pada daerah yang
strategis. Lokasi yang terpencil pun bisa menjanjikan potensi pertumbuhan
ekonomi yang besar.
Di Indonesia, UU yang
mengatur pokok-pokok pemerintahan di daerah sebetulnya telah ada, dengan
otonomi daerah yang nyata, bertanggung jawab dan dinamis. Namun, dalam
prakteknya masih ada ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah Tingkat II
terhadap Pemerintah Pusat. Prinsip otonomi
daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Dalam rangka menghadapi perkembangan keadaan baik di dalam maupun di luar negeri, daerah perlu menjawab tantangan persaingan global dalam kerangka semangat otonomi daerah. Semangat itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kerangka diatas, daerah dengan sumber daya ekonomi strategis yang berada dalam wilayah perdagagangan hendaknya didorong dan diperdayakan sebagai bagian dari sumber pendapatan asli daerah. Seiring dengan semangat ini, daerah harus diberikan keleluasaan dalam mengutip retribusi pelabuhan yang diusahakan. Walaupun praktek selama ini, berdasarkan PP Nomor 66 Tahun 2001, daerah dilarang mengutip hal tersebut. Dalam hal ini PAH II DPD RI melalui Tim Kerja 1 memprioritaskan masalah kepelabuhan sebagai agenda pertama dalam masa sidang ini, yang diharapkan nantinya menjadi usul RUU dari DPD RI. Latar belakangnya hasil dari kunjungan daerah masalah kepelabuhan cukup tinggi menjadi aspirasi daerah, salah satunya keberadaan PT. Pelindo.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Dalam rangka menghadapi perkembangan keadaan baik di dalam maupun di luar negeri, daerah perlu menjawab tantangan persaingan global dalam kerangka semangat otonomi daerah. Semangat itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kerangka diatas, daerah dengan sumber daya ekonomi strategis yang berada dalam wilayah perdagagangan hendaknya didorong dan diperdayakan sebagai bagian dari sumber pendapatan asli daerah. Seiring dengan semangat ini, daerah harus diberikan keleluasaan dalam mengutip retribusi pelabuhan yang diusahakan. Walaupun praktek selama ini, berdasarkan PP Nomor 66 Tahun 2001, daerah dilarang mengutip hal tersebut. Dalam hal ini PAH II DPD RI melalui Tim Kerja 1 memprioritaskan masalah kepelabuhan sebagai agenda pertama dalam masa sidang ini, yang diharapkan nantinya menjadi usul RUU dari DPD RI. Latar belakangnya hasil dari kunjungan daerah masalah kepelabuhan cukup tinggi menjadi aspirasi daerah, salah satunya keberadaan PT. Pelindo.
Jika menilik pengaturan dalam UUD 1945 maka konteks keuangan daerah yang
merefleksikan hubungan keuangan Pusat dan Daerah merupakan subsistem dari
system (pengaturan) penyelenggaraan Pemerintahan Daerah karena implikasi
kebijakan desentralisasi mengandung prinsip money
follows function yang memperjelas hak dan kewajiban Pemerintah di bidang
Keuangan Daerah yang merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
penyerahan kewenangan itu sendiri. Dalam konteks hubungan pusat dan daerah
sebagai kebijakan desentralisasi (pemberian otonomi) maka setiap daerah
diberikan Hak untuk : memungut pajak dan retribusi; mendapatkan dana
perimbangan; melakukan pinjaman (yang
diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri).
Selain itu, daerah juga mempunyai kewajiban yaitu : Mengelola hak-haknya di bidang keuangan secara efisien dan efektif (Pasal 155-194 UU 32 Tahun 2004); Sinkronisasi dengan kebijakan nasional (Pasal 150 ayat (1) dan ayat (3) UU 32 tahun 2004); Melaporkan dan mempertanggungjawabkan keuangan (Pasal 184 )
Selain itu, daerah juga mempunyai kewajiban yaitu : Mengelola hak-haknya di bidang keuangan secara efisien dan efektif (Pasal 155-194 UU 32 Tahun 2004); Sinkronisasi dengan kebijakan nasional (Pasal 150 ayat (1) dan ayat (3) UU 32 tahun 2004); Melaporkan dan mempertanggungjawabkan keuangan (Pasal 184 )

Tidak ada komentar:
Posting Komentar