Selasa, 03 Juni 2014

PENGERTIAN ATAU DEFINISI OTONOMI DAERAH



PENGERTIAN ATAU DEFINISI OTONOMI DAERAH
            Pengertian Otonomi secara bahasa adalah kewenangan/kekuasaan sedangkan daerah adalah suatu wilayah/area, dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri. Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan idiologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya
            Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
            Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
OTONOMI
            Penyelenggaraan pemerintahan seperti diatur dalam pasal 18 UUD 1945 menjadi dasar Desentralisasi dan Dekosentrasi seperti tertuang dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan Di Daerah. Adapun definisi beberapa istilah yang digunakan dalam UU No. 5/1974 masing - masing Pemerintah Pusat adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta pembantu - pembantunya. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari            Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat - Pejabat di daerah. UU No. 18/1965 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan di Daerah menganut prinsipil riil dan seluas - luasnya dicabut dan digantikan dengan UU No. 5/1974 tentang hal yang sama dengan prinsip nyata dan bertanggung jawab. Perbedaan prinsip antara riil dan seluas - luasnya dengan nyata dan bertanggung jawab menurut penjelasan UU No. 5/1974 didasari atas kekhawatiran bahwa, pengertian riil dan seluas - luasnya ternyata dapat menimbulkan kecenderungan permikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip - prinsip yang digariskan didalam GBHN.      Memperhatikan kekhawatiran tesebut maka jelas pemerintah pusat tidak rela untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dengan alasan klise membahayakan keutuhan NKRI. Hematnya bahwa prinsip riil dan seluas - luasnya bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Hal tersebut jelas terbaca dalam penjelasan UU No. 5/1974 angka I.1.e.i. Sehubungan dengan kekhawatiran tersebut maka Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat diarahkan ke daerah tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya), dengan kewenangan mengatur rumah tangga sendiri dalam batas - batas tertentu.    Pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan terhadap sektor - sektor tradisional seperti, galian C, pajak bumi dan bangunan, retribusi pasar, pajak kendaraan bermotor dan lain - lain. Sementara sektor strategis diatur langsung oleh pemerintah pusat. Dikaitkan dengan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan suplai anggaran melalui APBN, jelas PAD jauh lebih kecil jumlahnya. Apabila dihitung menyeluruh maka pendapatan asli daerah akan jauh lebih besar dibanding suplai melalui APBN. Contoh sederhan di sektor pertambangan emas, produksi emas PT. Newmont Minahasa Raya sebesar 58.000 ons / kwartal (Manado Post Selasa, 9 Juni 1998). Jika dinilai dengan rupiah pada standar harga jual emas Rp 75.000 / gram maka penghasilan bruto kurang lebih 1.3 trilyun/tahun. Bisa dibayangkan kekayaan daerah secara keseluruhan yang disedot ke pusat.Kenyataan ini tidak dapat disangkal karena merupakan konsekuensi logis pelaksanaan UU No. 5/1974.
            Di bidang politik berdasarkan UU No. 5/1974 penjelasan angka I.4.d. menunjukkan bahwa pemerintah daerah adalah Kepada Daerah dan DPRD dengan tujuan tercapainya kerjasama yang serasi antara KDH dan DPRD untuk mencapai tertib pemerintahan di daerah. Keterangan ini menunjukkan pemerintah pusat berupaya menyatukan kekuasaan legislatif dan ekskutif guna menekan keinginan rakyat yang dapat merusak tatanan dalam konsep NKRI.
            Dibidang Hukum, pengambilan keputusan baik dalam bentuk kebijakan Kepala Daerah maupun Peraturan Daerah harus sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan pemerintah atasannya. Hal ini merupakan konsekuensi NKRI dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden (sistem kabinet pressidentil).
            Memperhatikan teori yang dikemukakan oleh Robert C. Fried, The Italian Prefects (dikutip dari Hukum dan Pembangunan 1978 hal. 441) bahwa, tipologi pemerintahan daerah dibagi dalam tiga jenis sistem yaitu, sistem fungsional, sistem prefektur tak terintegrasi, sistem prefektur terintegrasi.
            Penyelenggaraan pemerintahan di daerah menurut UU No. 5/1974 menganut sistem prefektur terintegrasi seperti tergambar dalam pasal 2, 74(1) & (2), 79(1) & (2), 80, 81, 85(1). Penganutan sistem ini dipengaruhi oleh proses sejarah dan ditopang oleh berbagai faktor ekologis lainnya. Sistem ini berasal dari zaman Merkantilisme dan kemudian dikembangkan di Perancis oleh Napoleoon Bonaparte.     Untuk mendalami sistem ini lebih lanjut diperlukan pendekatan "behavioralism". Pola militer (vini, vidi, vici) jelas mempengaruhi sistem ini, bahkan menurut pengamatan Fried, sistem prefektur terintegrasi seringkali dipergunakan sebagai senjata untuk mengatasi ancaman bahaya yang datang dari suku - suku atau kekuatan sosial dan ekonomi yang berkonsentrasi di wilayah - wilayah tertentu. Dengan jalan menempatkan seorang gubernur di wilayah - wilayah itu dengan segala atribut yang dimilikinya, maka Gubernur dapat melakukan keseimbangan kepentingan, menetralisir keadaan dan menciptakan stabilitas politik diwilayahnya.
            Dewasa ini, untuk menghadapi era globalisasi perdagangan bebas, kemandirian daerah dalam mengelola pembangunan perlu mendapat  perhatian. Demikian dikemuka kan oleh Dr. Kenichi Ohmae dalam sebuah seminar pada Kongres Dunia ke-27 IAFEI (The International Association of Financial Institutes) di Jakarta.   
             Dikatakannya, di masa datang negara yang kuat adalah negara yang memiliki daerah-daerah yang makmur. Karena itu, dalam sebuah negara besar yang memiliki banyak daerah, otonomi benar-benar harus diberikan. Melalui otonomi ini interaksi daerah-daerah yang berada dalam satu negara dengan dunia luar menjadi penting. Saat ini lokasi perkembangan bisnis tidak lagi tergantung pada daerah yang strategis. Lokasi yang terpencil pun bisa menjanjikan potensi pertumbuhan ekonomi yang besar.
            Di Indonesia, UU yang mengatur pokok-pokok pemerintahan di daerah  sebetulnya telah ada, dengan otonomi daerah yang nyata, bertanggung jawab dan dinamis. Namun, dalam prakteknya masih ada ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah Tingkat II terhadap Pemerintah Pusat. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
                 Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
           
Dalam rangka menghadapi perkembangan keadaan baik di dalam maupun di luar negeri, daerah perlu menjawab tantangan persaingan global dalam kerangka semangat otonomi daerah. Semangat itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
           
Dalam kerangka diatas, daerah dengan sumber daya ekonomi strategis yang berada dalam wilayah perdagagangan hendaknya didorong dan diperdayakan sebagai bagian dari sumber pendapatan asli daerah. Seiring dengan semangat ini, daerah harus diberikan keleluasaan dalam mengutip retribusi pelabuhan yang diusahakan. Walaupun praktek selama ini, berdasarkan PP Nomor 66 Tahun 2001, daerah dilarang mengutip hal tersebut. Dalam hal ini PAH II DPD RI melalui Tim Kerja 1 memprioritaskan masalah kepelabuhan sebagai agenda pertama dalam masa sidang ini, yang diharapkan nantinya menjadi usul RUU dari DPD RI. Latar belakangnya hasil dari kunjungan daerah masalah kepelabuhan cukup tinggi menjadi aspirasi daerah, salah satunya keberadaan PT. Pelindo.

                 Jika menilik pengaturan dalam UUD 1945 maka konteks keuangan daerah yang merefleksikan hubungan keuangan Pusat dan Daerah merupakan subsistem dari system (pengaturan) penyelenggaraan Pemerintahan Daerah karena implikasi kebijakan desentralisasi mengandung prinsip money follows function yang memperjelas hak dan kewajiban Pemerintah di bidang Keuangan Daerah yang merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari penyerahan kewenangan itu sendiri. Dalam konteks hubungan pusat dan daerah sebagai kebijakan desentralisasi (pemberian otonomi) maka setiap daerah diberikan Hak untuk : memungut pajak dan retribusi; mendapatkan dana perimbangan;  melakukan pinjaman (yang diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri).
Selain itu, daerah juga mempunyai kewajiban yaitu :  Mengelola hak-haknya di bidang keuangan secara efisien dan efektif (Pasal 155-194 UU 32 Tahun 2004);  Sinkronisasi dengan kebijakan nasional (Pasal 150 ayat (1) dan ayat (3) UU 32 tahun 2004);  Melaporkan dan mempertanggungjawabkan keuangan (Pasal 184 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar